Selasa, 12 November 2013

Romantis dengan Matematika (Part 2)


Cerpen berikut merupakan sambungan dari: Romantis dengan Matematika (Part 1).
Serasa tidak percaya. Berulang-ulang 4 sms berantai tersebut dibacanya dengan saksama. Tapi, tetap saja, jelas bahwa sang gadis dengan cukup halus menolak cintanya. Pak Zero hanya bisa tercenung. Diam dalam kediamannya. :mrgreen: Sepi dalam kesendirian. Tak ada kawan dalam deritanya. “Begitulah cinta, deritanya tiada akhir,” kata Patkai, dalam film Kera Sakti.
***
Di tempat lain. Tom, Jerry, Ana, Alvi, dan Lidya sedang belajar bersama. Mendiskusikan tugas mata kuliah Kapita Selekta Matematika Sekolah. Satu mata kuliah yang membahas topik-topik penting matematika yang diajarkan di sekolah, tetapi dianggap paling bermasalah: baik dalam memahami materinya ataupun dalam penyampaiannya. Mata kuliah ini merupakan salah satu bekal penting bagi mahasiswa-mahasiswi calon guru matematika sekolah.
“Tom, soal yang ini bagaimana cara penyelesaiannya? Itukan di sekolah tidak diajarkan?” Kenapa Pak Zero menugaskan kita mendiskusikan permasalahan ini?” kata Ana sambil menyodorkan kertas berisi soal matematika, seperti berikut.
Tentukan hasil pencerminan titik A (1,2) yang dicerminkan terhadap garis x + 2y = 3.
“Iya, sih. Soal tersebut setahu saya memang tidak diajarkan untuk tingkat sekolah. Tapi, konsep dasarnya jelas diajarkan,” kata Tom beralasan.
“Iya, saya tahu. Tapi yang diajarkan di sekolah hanya pencerminan pada garis-garis yang istimewa saja. Semisal terhadap garis y = x, y = -x atau terhadap sumbu-sumbu koordinat,” kata Ana membenarkan apa yang dikatakan Tom.
Ya, berarti kalau begitu, soal tadi merupakan tantangan bagi kita untuk memecahkannya,” Jerry ikut terlibat dalam diskusi.
Sementara itu Alvi, walau bersama teman-temannya, hatinya tidak hadir. Pikirannya tidak fokus. Sepertinya ada permasalahan yang mengganjal. Mengaduk-aduk perasaan. Menggelisahkan jiwanya. Tampak dari raut mukanya. Hal ini menimbulkan tanya pada Tom yang sedari tadi memperhatikannya.
Memang hal tersbut tidak biasa terjadi. Biasanya, tiap kali belajar bersama Alvi selalu  dominan dengan segudang ide-ide briliannya. Tapi kali ini dia seperti tak terlibat, tak ada ide yang digagasnya. Alvi walau tampak pendiam dia adalah sosok mahasiswi yang mudah bergaul, ramah, cerdas, berbakti pada kedua orang tua, taat beribadah, dan yang pasti dia cantik–baik hati atau tampilan luarnya. Satu kombinasi sifat yang jarang ditemukan pada seorang gadis di jamannya.
Lidya adalah sosok periang yang berani mengemukakan gagasan: ceplas-ceplos, lugas, nyaris tanpa tedeng aling-aling, tetapi tetap menjunjung tinggi sopan-santun. :D Kali ini pun Lidya tampak diam. Menyembunyikan sesuatu dalam hatinya. Jerry, sebagai sahabat ngobrol setianya menyapa. Tapi, tidak berhasil.
***
“Tom, saya ingin cerita ke kamu? Mau minta pendapat,” kata Alvi pada Tom, usai belajar bersama.
“Cerita apa?”
Alvi diam.
“Mmm… jangan sekarang ya? Saya ada perlu nih, buru-buru! Gemana kalau besok aja ceritanya? Besok kan kuliah Bahasa Indonesia. Nah, saya akan duduk di barisan belakang, silakan besok kamu cerita. Ok?” begitu kata Tom sambil siap-siap pulang dari kontrakan Alvi, tempat mereka biasa belajar bersama. Ana, Jery, Lidya, dan Tom pun segera pamit, pulang ke kediaman masing-masing.
***
Pak Zero masih saja melamun. Berhari-hari. Memikirkan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Antara malu dan sakit: keduanya mengoyak-ngoyak hatinya. Sudah berulang kali 4 sms berantai dari sang gadis dambaan hati dibaca. Tetap, isinya tidak berubah. Cintanya ditolak!
Seminggu berlalu. Kini Pak Zero mulai bangkit, tak ingin meratapi deritanya. Tapi, tetap saja dia masih penasaran dengan sang mahasiswi yang menolaknya. Kembali dia baca dengan cermat tiap kalimat sang gadis dalam 4 sms berantai yang masih tersimpan rapi dalam memori ponselnya. :D
Ahaaa, dia menemukan secercah harapan! Dalam 4 sms tersebut tertulis:
Saat ini saya  masih ingin menjaga hati dalam bentuk dan warna yang sama….
Belum saatnya saya mengiris hati ini, membelahnya untuk orang lain. Hanya waktu yang akan menjawab: kapan dan untuk siapa hati ini saya berikan.
Dua kalimat tersebut, walau bernada menolak, tetapi bila dicermati sebetulnya memberi setitik harapan.  Menawarkan tantangan. Demikian yang terpikir oleh Pak Zero.
“Ah, berarti saya masih punya harapan. Masih ada peluang untuk mendapatkan cintanya! Jelas peluangnya tidak nol! Saya harus memperjuangkannya! Ga boleh menyerah!” gumam hati Pak Zero dengan penuh optimis.
Bersambung…
=======================================================
Ya sudah, segitu saja ya perjumpaan kita kali ini. Mudah-mudahan cerpen ini ada manfaatnya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar