TRIP DADAKAN KE JEPANG SAMBIL IKUT INTERNATIONAL CONFERENCE
Sebuah momen tak terlupakan di awal 2019
Saya bukanlah seorang petualang apalagi seorang penjelajah tapi, saya memiliki pengalaman tak terlupakan yang ingin saya bagikan kepada anda semua dan mungkin saja menjadi bahan referensi anda di kemudian hari.
Pagi itu saya diajak teman saya untuk melakukan kegiatan iseng-iseng berhadiah di lantai 2 gedung pascasarjana UPI dengan mengirimkan artikel/ paper saya ke sebuah seminar internasional yang akan digelar di Waseda University, Tokyo - Jepang pada awal Januari 2019. Lama tak ada kabar sebulan kemudian e-mail dari panitia penyelenggara masuk dan mengabarkan bahwa paper saya diterima dengan terlampir hasil blind review dari reviewer mereka. Setengah sadar dan sedikit bingung dengan e-mail yang saya terima saya hubungi kembali teman saya dan di luar dugaan malah teman saya yang bahagia kegirangan dan saya diam seribu bahasa.
Ia mengucapkan selamat dan menyuruh saya menanyakan siapa lagi selain saya yang paper-nya diterima, hingga kemudian dari informan khusus saya mengetahui bahwa ada tiga orang lainnya yang juga lolos. Alhamdulillaah tidak sendiri dan dari sana awal diskusi dan cerita panjang kami berawal. Serius mengadakan pertemuan khusus akhirnya saya baru tahu kalau ternyata ada lima orang termasuk saya dari pasca UPI yang paper-nya diterima. Dari awal kuliah sebenarnya entah untuk apa tapi saya sudah memiliki passport (siapa tahu berangkat umroh/ haji di kemudian hari kan, Aamiin), ternyata saya akan berangkat ke Jepang di awal 2019.
Masih dalam kegalauan antara berangkat dan tidak saya lantas berkonsultasi kepada beberapa orang termasuk di antaranya orang tua dan sahabat saya. Setelah mendapat cukup dukungan akhirnya saya mengikuti keempat teman saya lainnya yang masing-masing berbeda jurusan untuk mengurus segala administrasi dan keperluan. Mulai dari tiket pesawat pulang dan pergi, penginapan, travel pulang pergi ke bandara pengurusan visa hingga pengajuan segala keperluan ke pihak kampus dan penyedia dana. Sekitar tiga bulan persiapan kami sebelum akhirnya memutuskan pembagian tugas dan hal lainnya.
Setelah dirasa semua persiapan telah siap maka kami pun siap mengajukan pembuatan visa. Awalnya kami datang ke kedutaan besar Jepang untuk Indonesia di Jakarta. Kami sudah antre cukup lama dari pukul 8 pagi dengan panas yang mulai menyengat saat itu, saat akhirnya kami dibolehkan masuk melewati pintu lapis baja kami diminta untuk memberikan KTP kami sebagai jaminan diganti dengan nametag bertuliskan guest (tamu), memasukkan barang bawaan di roll machine dan pos pemeriksaan, melewati logam detector, mengambil nomor antrean ke loket didekat pintu masuk ketiga & mengisi form untuk diberikan ke petugas loket. Lucunya saat salah satu dari kami mendapat giliran maju dan menyerahkan berkas ke loket yang berisi petugas, petugas loket malah memberikan sebuah kertas kecil berisi alamat Japan Visa Application Center (JVAC) dan lokasinya di Lotte Shopping Avenue. Kemudian salah satu dari kami malah tertegun, mengernyitkan dahi sembari menggaruk kepala. Tak lama petugas loket memberitahu bahwa pembuatan visa bagi kami bukan di sana (kedubes) namun di alamat tersebut. Tanpa menunggu lama kami bergegas membereskan berkas dan mengucapkan terima kasih pada semua petugas di sana.
Hidup di era modern dengan berbagai kecanggihan yang ada saat ini membuat kami merasa sangat bersyukur karena untuk menuju lokasi yang bahkan belum kami ketahui cukup dengan bermodalkan telepon pintar dan aplikasi transportasi daring. Lima menit setelah memesan driver kami datang menjemput, kurang lebih 15 menit kami telah sampai di lokasi tujuan yang kala itu masih terbilang sepi bahkan sepertinya pusat perbelanjaan tersebut baru buka.
Masuk melalui lobi dan naik ke lantai dua dengan menggunakan lift tak lantas memudahkan kami menemukan JVAC dengan mudah, kami sempat memutari lantai dua gedung dan bertanya kepada petugas hingga akhirnya menemukan yang kami cari. Posisi JVAC kala itu berada di sebelah kanan XXI, seperti berikut.
Jadwal dan kontak JVAC terpampang jelas di luar dalam tiga
bahasa. Kontak dan jadwalnya yang telah saya lingkari. Berikut gambar jelasnya
siapa tahu teman-teman membutuhkan sebagai referensi walaupun mungkin telah
terjadi sedikit perubahan pada data tersebut tapi sepertinya tak akan begitu
banyak.
Petualangan saya saat itu ditemani oleh dua orang hebat
yaitu Ghery dan Ratmi. Keduanya bedarah Minang yang notabenenya berlawanan
sifat dengan saya yang berdarah Sunda namun kami bisa bersatu dalam berbagai
perbedaan yang kami miliki.
Kami berangkat dan pulang ke Bandung menggunakan
trasnportasi massal yang banyak digemari yaitu kereta api. Sebenarnya banyak
kejadian tak terlupakan yang terjadi sebelum naik kereta dan sebelum pulang
namun jika diceritakan hal tersebut bisa menjadi multitafsir bagi pembacanya,
cukup kami dan Allah SWT yang tahu.
Proses di JVAC terbilang mudah dan cepat. Karena
sebelumnya kami telah menyiapkan berbagai persyaratan sebelum berangkat ke
sana. Di antaranya Formulir yang terdapat di website JVAC, passport yang masih berlaku, pas foto ukuran 4x4 cm, surat
keterangan aktif kuliah dan recommendation
letter (bagi mahasiswa luar Jabar yang kuliah di Jabar, warga Jabar tidak
memerlukannya), itinerary (agenda
perjalanan) selama di Jepang, dan copy
buku tabungan (minimal saldo Rp. 30.000.000, fiktif pun tak apa yang jelas
jangan sampai pergi ke Jepang dengan tabungan yang kosong), issued tiket pesawat PP dan penginapan.
Perlu diingat bahwa semua dokumen harus berukuran A4, kalau pun lupa di sana
ada tempat PSK (Print, Scan, Copy)
dengan biaya Rp. 1000/ per lembar kecuali passport
harus dokumen aslinya yang diberikan.
Pembuatan visa di sana bisa dikolektifkan/ disatukan di
satu loket asal satu rombongan agar menghemat waktu. Selesai diloket dengan
mengisi form kecil dan wawancara
singkat dengan petugas loket proses berlanjut ke pembayaran. Tempat pembayaran
berada di ruangan terpisah namun tak jauh dari loket, biaya yag dibayar terdiri
dari dua hal yaitu pembayaran pembuatan visa dan ongkos kirim passport berisi visa ke alamat kita
(disarankan yang mudah ditemukan alamatnya). Kurang lebih 20 menit proses
pengajuan visa pun selesai.
Tiga hari kemudian visa kami pun tiba, tibalah proses
diskusi panjang dan persiapan keberangkatan berasaskan bagi tugas barang
bawaan. Hari keberangkatan pun tiba. Kami berangkat dari Bandung sebanyak lima
orang. Menggunakan travel X-trans (di Jl. Cihampelas – de Batara Hotel) menuju
bandara Soekarno-Hatta terminal D. Alasan takut terkena macet di jalanan
Jakarta kami pun sepakat mengambil travel
pukul 03.15 pagi dan tiba cukup pagi di bandara. Pembagian tugas dimulai. Dua
orang mencari Java Mifi sebagai akses
internet roaming kami yang menjangkau seluruh Asia digerainya yang ternyata
berada di terminal lain, sedangkan tiga orang menunggu di ruang tunggu bandara terminal
D sambil gantian membersihkan diri (kebanyakan begadang menunggu waktu
keberangkatan dan takut tertinggal) serta tentunya bergantian dan berbagi menu
sarapan.
Ketika dirasa sudah cukup mendekati waktu keberangkatan
kami pun masuk ke terminal keberangkatan. Kurang lebih dua jam sebelum waktu
keberangkatan akhirnya terdengar kabar bahwa pesawat yang akan kami tumpangi akan
segera tiba. Melewati sekitar empat kali pos pemeriksaan yang dua di antaranya
adalah penyimpanan bagasi dan pengecekan passport,
kami pun bersiap memasuki pesawat Thai
Lion Air untuk kemudian transit di Don
Mueang International Airport – Bangkok Thailand. Berikut beberapa
dokumentasi kami dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta sampai Don Mueang International Airport (DMIA).
Setibanya di DMIA kami sangat bersemangat karena teman
dari Salma yang sedang menempuh pendidikan di Bangkok sudah menunggu kami di
luar bandara. Namun sesuatu terjadi, pada saat kami mengantri diantrian keluar
imigrasi DMIA bukannya kami diizinkan untuk keluar bandara malahan kami
dilarang dan diminta untuk segera ke area transit di lantai atas bandara.
Sungguh hal yang membuat kami semua kecewa bahkan alasan kami tak ada satu pun
yang didengarkan oleh petugas imigrasi di sana. Salma berulang kali menghubungi
temannya yang sedari tadi menunggu kami keluar. Temannya pun memberikan
berbagai arahan agar kami dapat keluar dari bandara tersebut. Namun pada
akhirnya kami menyerah dan dengan perasaan dongkol melanjutkan ke bagian
transit untuk mendapatkan tiket pesawat terusan dan pemeriksaan kembali sebelum
akhirnya lepas landas menuju Narita
International Airport seraya mengucapkan permohonan maaf kepada teman dari
Salma yang sedari kami tiba belum beranjak dari gerbang bandara DMAI agar kembali
ke penginapannya dan tidak mencemaskan kami lagi.
Beberapa suasana yang dapat kami abadikan di DMIA selama
kami menunggu penerbangan berikutnya kurang lebih delapan jam lamanya yang
tentunya tak akan pernah kami lupakan seumur hidup. Selama proses menunggu
telah banyak hal yang kami lakukan guna mengusir rasa bosan kami. Makan serta menghubungi
keluarga dan beberapa sahabat cukup ampuh mencairkan suasana hati kami yang
tengah campur aduk saat itu. Empat kali berkeliling di bandara, dari ujung yang
satu ke ujung yang lainnya kami turut lakukan untuk mengusir rasa bosan.
Berkali pula kami menanyakan rest room dan
tempat ibadah di bandara namun yaa sesuai ekspektasi, tidak ada. Maka kami bergantian
sholat di tempat yang sekiranya bersih setelah sebelumnya bermain
kucing-kucingan dengan petugas kebersihan bandara untuk berwudhu dengan baik
dan benar karena beberapa kali kami tertangkap basah sedang mencuci kaki di
atas wastafel. Lucu memang namun sebagai muslim yang baik kami akan terus
berusaha menjalankan kewajiban walaupun situasi sedang darurat dan tidak
mendukung.
Tengah malam sekitar pukul 23.50 kami pun bersiap menuju
terminal keberangkatan. Sebenarnya banyak sekali WNI dan WNA lain yang kami
temui selama di DMAI dan banyak sekali hikmah yang kami ambil dari pembicaraan
kami serta kisah hidup mereka yang dibagikan kepada kami. Memang sepertinya
kami diminta Allah untuk lebih banyak mendengarkan hal baik dan mengambil
hikmah selama di sana ketimbang banyak melihat namun tak mendapat banyak manfaat
(selalu ber-hunsnudzan kepada Allah).
Tak lama kami pun memasuki pesawat namun sekarang agak
berbeda. Sebelumnya kami menaiki pesawat jenis Boeing 737 kini kami menaiki pesawat jenis Air Bus, semula hanya 2-3 jam perjalanan kini kami harus melewati
11 jam perjalanan non-stop,
sebelumnya kami berlima duduk berderet berdampingan kini terpisah agak jauh
sehingga tak ada komunikasi atau pun obrolan hangat selama perjalanan panjang
yang cukup membosankan bagi kami.
Sebelas jam berlalu dan kami sampai sekitar pukul 07.50
pagi waktu setempat. Akhirnya kami sampai di negeri sakura guys, alhamdulillaah.
Turun dari pesawat kami dijemput oleh bus bandara yang mengantarkan kami ke
bandara Narita untuk melakukan klaim bagasi kami, mengisi data diri serta
keperluan dan tentunya keluar dari bandara.
Information
center bandara memberitahu kami rute yang harus kami tempuh untuk sampai di
Hagiyama (Takasago Student House)
yang ternyata tidaklah dekat. Perjalanan kami ternyata masih panjang. Berikut
peta perjalanan kami.
Ya bisa anda lihat kami harus melakukan perjalanan dari
awal garis biru di sebelah kanan ke ujung kiri yang ditandai dengan penanda
lingkaran merah muda. Kami pun harus mengingat semua jalur kereta yang akan
kami naiki karena di sana sangatlah nyaman berkendara ke mana pun dengan kereta
layaknya MRT dan LRT di Jakarta. Namun, ada satu lagi PR kami yaitu memiliki
kartu untuk semua bernama pasmo/ suica
yang bentuknya seperti berikut.
Kartu ini bisa didapatkan di bagian bawah gedung sebelum menuju
area kereta bawah tanah, anda tinggal menukarkan uang sebanyak 2500 yen tapi
jangan khawatir uang tersebut tidak akan hilang namun mejadi saldo yang dapat
digunakan sebagai pembayaran tiket kereta, bus, membeli makanan/ minuman di
mesin penyedia makanan / minuman bahkan mesin mainan di Jepang, tinggal tempel
atau “tap” dan selesai.
Tak ada satu pun dari kami yang berpengalaman di negeri
sakura sehingga dalam mencari kereta dan jalur berulang kali kami bertanya
kepada petugas dan penduduk sana yang kebetulan bisa kami ajak berbicara.
Padahal guys kebiasaan masyarakat sana adalah tidak boleh mengobrol/ berbicara
saat berada di dalam transportasi umum. Ya tetap saja kami memiliki prinsip
malu bertanya sesat di jalan hingga akhirnya sampai juga di Hagiyama pada pukul
11 siang waktu setempat dengan disambut oleh Pak Arif, salah satu kandidat
doktor di Waseda University yang sebenarnya sudah berulang kali beliau
bulak-balik ke stasiun menunggui kami. Berikut beberapa momen yang berhasil
kami abadikan selama perjalanan di dalam kereta hingga sampai di Takasago Student House - Hagiyama.
Takasago
Student House sebenarnya merupakan asrama bagi mahasiswa yang berkuliah di
Waseda University namun entah bagaimana cara yang ditempuh oleh Pak Arif
sehingga kami berlima diperbolehkan menginap selama lima hari satu malam di
sana. Luar biasanya semua penghuni di sana adalah laki-laki, hanya kami
berempat perempuan yang berada di sana. Kamar kami berada di lantai teratas,
lantai empat tidak ada lift dan kami
bahu membahu memindahkan seluruh bawaan kami ke lantai paling atas. Penghuni di
sana sangat baik dan ramah, kami mendapatkan berbagai pengetahuan baru selama
berada di sana.
Di antaranya adalah masyarakat Jepang tidak pernah mandi
pagi dan hanya berbenah saja di pagi hari, mandinya kapan? Pulang kerja sekitar
pukul 9 malam waktu Indonesia. Penghuni kamar harus satu orang, padahal
inginnya perempuan satu kamar berdua jadi ada teman berbagi cerita. Namun,
aturan di sana tidak membolehkannya. Kami sempat diceritakan oleh Pak Arif
mengenai kesulitannya melaksanakan sholat di sana. Shubuh di sana sekitar pukul
4.30 dini hari waktu setempat sedangkan dzuhur pukul 10.45 disusul ashar pukul
11.15 waktu setempat. Begitu pun maghrib dan isya waktunya mepet yaitu sekitar pukul
16.30 dan 17.15 waktu setempat. Waktu ini berlaku saat kami di sana pada musim
dingin tapi menurut penuturan beliau waktu sholat di sana mepet dan sulit izin
keluar untuk sholat saat kuliah apalagi di hari Jum’at, mushola ada di gedung
yang berbeda dari gedung tempat beliau belajar apalagi mesjid yang hanya ada di
beberpa kota saja sehingga beliau kadang menyatukan waktu sholat saat berada di
kampus. Hal itulah yang membuat kami bersyukur tinggal di Indonesia yang tidak
seketat & se-disiplin Jepang terutama izin untuk beribadah.
Sore harinya kami kedatangan tamu, teman dari uda Ghery
yaitu Chandra dan Rizky. Mereka jauh-jauh datang dari Gifu untuk menemani kami
selama dua hari di Tokyo. Lantas mereka tidur di mana? Ya sama uda Ghery dong. Udah izin? Belum, ya
jadi penumpang gelap selama dua hari lah tidak apa-apa. FYI mereka berdua
adalah artis dari UNP dan Gifu University, kandidat magister di sana jurusan
kimia (entah murni, terapan atau pendidikan pokoknya itu :V)
Setelah makan bersama di salah satu kamar tempat kami
berkumpul dan membuka semua bekal makanan kami. Rencana berkeliling Tokyo pun
di mulai. Malam itu kami tak lantas istirahat, padahal UAS meminta untuk
dikerjakan dan dikirim pukul 2 dini hari waktu setempat. Setelah melalui
diskusi yang cukup panjang kami pun memutuskan untuk mengunjungi Shinjuku.
Berikut beberapa dokumentasi yang berhasil kami abadikan.
Karena keasyikan di luar kami sempat hampir tertinggal
kereta terakhir menuju Hagiyama. Kurang lebih empat kali berganti kereta untuk
sampai kembali ke Hagiyama, hampir panik karena Chandra dan Rizky pernah sampai
harus menginap di stasiun yang karena tertinggal kereta terakhir. Perasaan
sudah campur aduk dan cuaca sudah semakin dingin namun qadarullah masih ada satu kereta yang datang. Walaupun berdesakkan
karena merupakan kereta terakhir yang melintas namun kami tetap bersyukur
karena masih bisa pulang ke penginapan untuk segera mengerjakan serta
mengirimkan UAS kami.
Keesokan harinya selepas sholat shubuh, mandi dan sarapan
(btw, cuma kami berlima yang mandi pagi saat itu) kami diajak ke Odaiba, sebuah
pulau reklamasi yang sengaja dibuat oleh pemerintah Jepang guna menggaet
wisatawan lokal maupun mancanegara agar dapat merasakan suasana seperti di
Eropa dan negara lain. Perjalanan ke Odaiba adalah perjalanan wisata dengan
kereta termahal di Tokyo. Biasanya dalam sehari kami menghabiskan 400 yen untuk
pulang pergi ke Waseda, ke Odaiba sekali jalan kami menghabiskan 499 yen. Tapi,
kami puas dengan suguhan keindahan di sana. Berikut dokumentasinya.
Lho, kok cuma berenam? Satu lagi ke mana? Ah, itu dia.
Kawan kami Maryam sejak malam sebelumnya memang sudah merasa tidak enak badan.
Maka ia tinggal di penginapan sembari memulihkan badannya. Kami hendak
menemaninya namun ia bersikukuh akan segera membaik setelah beristirhat. Kami
pun mengira ia hanya kelelahan biasa setelah perjalanan jauh sehingga meng-iyakan
begitu ia minta untuk ditinggalkan beristirahat.
Berlanjutlah perjalanan kami dari Odaiba ke Tokyo Station. Bangunan tua namun kokoh
dengan arsitektur yang menawan. Ya sebenarnya kami mencari tempat singgah untuk
makan. Berhubung tak ada lagi tempat dan Candra serta Rizky harus bergegas
kembali ke Gifu maka kami meng-iyakan untuk mengunjungi taman di depan Tokyo Station. Setibanya di sana, masyaallah dinginnya tak tertahankan.
Suhu saat itu mencapai minus tujuh derajat. Elektronik kami tiba-tiba tidak mau
hidup, sebagian besar HP kami tak hidup. Hanya tinggal HP uda Ghery yang
dilapisi hardcase dari besi yang
masih bertahan. Udara dingin selain berdampak pada matinya elektonik kami,
berdampak pula pada menurunnya nafsu makan kami. Ya gimana gak menurun, ketika
membuka sarung tangan, membuka bekal makan di taman, memegang sendok dan
mengunyah nasi serta lauk yang seperempat beku itu membuat kami ingin segera
menyudahi kegiatan makan kami dan segera pulang.
Ketika kami selesai makan, berfoto bersama Chandra dan
Rizky sebelum pamit berpisah, kami bertemu dengan Doktor muda asal Malaysia
yang akan menghadiri seminar juga di Jepang namun berbeda lokasi dengan kami.
Ia menginap di sekitar sana dan ia menghampiri kami karena mengira kami dari
negaranya juga (sebab hanya kami bertiga yang berjilbab di sana). Usai
berkenalan kami bertukar kontak dan berfoto bersama sebelum akhirnya kembali ke
penginapan masing-masing. Berikut dokumentasinya.
Kali ini kami tidak pulang larut malam sehingga bisa
sampai lebih awal untuk melaksanakan sholat maghrib sekaligus mengecek kondisi
kawan kami yang sakit. Alhamdulillah penginapan kami dekat dengan swalayan
serba 100 yen walaupun di sana selalu ada pajak 8 yen yang menyertai, kami
bersyukur sekali karena di tempat lain harganya jauh lebih mahal dan lokasinya
pun jauh sekali. Kami membeli berbagai kebutuhan di sana hingga membelikan obat
serta makanan bagi teman kami yang sakit. Proses seleksi makanan serta minuman
di sana cukup sulit karena jika tidak hati-hati kami akan memakan makanan dan
minuman yang diharamkan bagi kami umat muslim. Chandra dan Rizky sebelumnya
telah memberitahu kami tips dan triknya. Selain menggunakan google translate untuk mengetahui
komposisi, kami juga diberitahu beberapa produk yang aman, misalnya buah, air
mineral, jajanan tradisional kue beras, produk dari lotte (selain teh hijau/ matcha) dan snack panggang rasa sayur serta garam. Itulah yang kami ingat
sampai saat ini, semoga dapat menjadi referensi bagi anda dalam memilih makanan
dan minuman di Jepang.
Saat kami melihat kondisi kawan kami, ia masih terlihat
pucat dan lemas padahal dua hari lagi kami harus mempresentasikan penelitian
kami. Kami pun berjaga dan mencoba memberikan obat seadanya karena balai pengobatan
jauh dari penginapan kami dan Pak Arif pun bingung bagaimana harus membawanya
berobat di Jepang.
Keesokan harinya kami datang ke kampus Nishi Waseda untuk
mengambil goody bag, nota pembayaran
serta beberapa benda lain untuk keperluan seminar esok harinya. Sambil
mengingat-ingat patokan jalan, gedung serta jalur kereta yang harus kami ambil.
Hari pelaksanaan seminar internasional pun tiba. Kami
sudah bangun lebih pagi dan ternyata tetap kami kesiangan (yak elah Indonesia
:v ). Pintu masuk berada di depan sehingga apabila datang terlambat akan
dilihat oleh seluruh peserta yang hadir. Sebenarnya baru di mulai sekitar lima
menit oleh keynote speaker pertama. Pararel session akan dilaksanakan
setelah keynote speaker ketiga
selesai. Jadwal di hari pertama adalah saya dan Ratmi dibagian teaching and learning serta Ghery dan
Salma dibagian education and technology
sedangkan Maryam baru esok harinya di hari kedua dan itu pun sore hari sehingga
ia bisa beristirahat lebih di penginapan.
Pararel
session pun di mulai dan kami bergantian mempresentasikan paper kami di ruangan. Walaupun best
speaker dimenangkan oleh mahasiswa doktoral dari Philiphines dan di ruangan
Ghery Salma oleh Professor dari Taiwan kami tidak lantas patah berkecil hati.
Karena kami telah banyak menerima ilmu serta pengalaman selama di sana. Hari
pertama usai dengan di akhiri jamuan makan siang yang kesorean bagi kami.
Namun, dalam penyajiannya tuan rumah serta tamu di sana sangat ramah bahkan
untuk muslim pun sudah disiapkan dengan baik dan diberi label halal. Memudahkan
bagi kami untuk mengambil hidangan yang halal dan sehat.
Kejadian lucu saat pengambilan sajian terjadi, karena
mungkin kami sudah terlalu lapar teman saya ada yang tidak menyadari adanya
label halal sehingga ia mengambil makanan yang ia lihat enak untuk dimakan.
Baru pada saat kami duduk bersama untuk makan, saya menyadari bahwa ada
beberapa makanan yang tidak halal telah diambil oleh teman saya. Akhirnya ia
harus merelakan makanan yang ia ambil dan terlihat sangat lezat untuk
dikembalikan kepada kokinya. Makanan halal bagi kami hanya potongan kol dan
wortel mentah, ayam goreng tepung hambar, nasi, saus tomat, air bening, kopi,
gula, teh, puding buah serta kue buah, lainnya seperti sushi, beef steak, fish steak, dan wine tidak bisa kami ambil karena kokinya menjelaskan bahan serta
proses pembuatannya yang ia yakini tidak halal. Disela kegiatan makan kami,
Maryam datang menghampiri. Alhamdulillaah pikir kami ia telah sehat dan siap
untuk esok hari. Kami pun merencanakan untuk mengunjungi Shibuya Junction dan Hachiko
Statue sekalian perjalanan pulang. Segera setelah makan kami bergantian
melaksanakan sholat di gedung nomor 60 dan kami bergegas menuju tempat tujuan.
Karena kali ini kami tidak ada yang menemani maka kami
melaksanakan tips dan trik dari Candra dan Rizky yaitu menggunakan gmaps Jepang beserta arahan kereta yang
tertera di sana tentunya dalam bahasa Inggris. Walau pun kami menggunakan gmaps tetap saja kami mencoba bertanya
kepada petugas namun ya seperti biasanya mereka tidak bisa berbahasa Inggris
dan hanya mampu mengerti kata kunci yang kami berikan sehingga kami pun
menggunakan aplikasi penerjemah untuk berkomunikasi hingga akhirnya kami pun
menemukan tempat tujuan kami, alhamdulillaah. Berikut beberapa dokumentasi kami
di Shibuya Junction dan Hachiko Statue sebelum akhirnya kami
pulang dan mempersiapkan hari esok.
Di hari kedua, kami berangkat agak siang karena presentasi
kawan kami di mulai setelah makan siang. Kami sempatkan berkeliling main campus
waseda dan kampus nishi sebelum akhirnya kami bergabung untuk makan siang dan
memberikan support bagi kawan kami
yang akan tampil. Setelah selesai presentasi seluruh peserta malam harinya kami
mendapat jamuan makan malam di hotel yang telah disiapkan panitia. Karena
jaraknya yang cukup jauh kami naik bus yang sudah disiapkan panitia. Sungguh
terasa nuansa khas negeri sakura dengan sentuhan keramahannya. Ketika gala dinner di mulai kami bebas
berbincang dan bertukar kontak untuk medapat relasi sebanyak-banyaknya dan di
sana kami baru sadar bahwa yang hadir adalah mahasiswa doktoral, professor dan asosiasi profesor. Hanya
kami yang merupakan mahasiswa magister, luar biasa memang. Berikut beberapa
dokumentasinya.
Selesai kegiatan seminar internasional belum mengakhiri
perjalanan kami di Tokyo. Esoknya kami berencana mengunjungi beberapa kuil yang
terkenal serta tempat lainnya yang iconic
di Jepang. Seperti biasa selepas ibadah, sarapan bersama dan bersih-bersih diri
kami berlima berangkat untuk mengunjungi beberapa tempat tentunya dengan kereta
yang setiap tiga sampai lima sekali ada. Ternyata Salma sudah membuat janji
dengan ketiga temannya untuk menemani kami di sana selama seharian penuh. Meeting point kami di Sensoji Temple
bersama Hiro dan Takaki. Di luar dugaan sebelum kami bertemu mereka berdua,
rombongan kami terpecah menjadi dua bagian saat tiba di kuil. Kembali cuaca dingin
membuat perangkat seluler kami mati, Java
Mifi pun berada di Ghery sehingga saya mencoba tetap tenang dan berlaku
seperti halnya turis lainnya yang memadati kuil. Berkeliling kuil dan ya
sesekali mengecek perangkat saya dan alhamdulillaah
hidup kembali setelah disimpan beberapa saat di saku sembari dihubungkan ke power bank. Feeling saya rombongan Ghery berada di antara jajanan yang berderet
rapi dibagian depan kuil dan benar saja saya bertemu Ghery yang tengah serius menyatukan
bumbu makanan sejenis kwetiau goreng
lengkap dengan telur mata sapi setengah matang di atasnya sambil berjalan. Saya
sapa dan ia hanya berkata “Lu kemana aje, ceu? Yang lain nyariin!” Saya
menjawab dengan santai “Habis berkeliling, tenang udah bisa pulang sendiri
kalau nyasar.” Seraya menenangkan keadaan.
Ya seperti yang telah saya duga, karena kami sudah dewasa
dan bukan anak kecil lagi maka tak ada kata keliling dan mencari dengan serius.
Saat saya datang mereka tengah berfoto bersama cosplay di depan kuil dan tak ada acara manyun apalagi baku hantam
karena saya terpisah dari rombongan, semua ceria seperti biasanya seakan tak
terjadi apa-apa. Selesai menikmati kudapan dan suasana di Sensoji kami bergerak
ke area pemakaman di belakang kuil karena Hiro dan Takaki masih berada di kereta.
Di bawah pohon besar yang kering sebelah area pemakaman kami kembali membuka
bekal dan makan bersama di sana. Tak lama Hiro dan Takaki pun datang, mereka
mengucapkan salam dalam bahasa Indonesia. Kami kaget karena kami mengucapkan
salam dengan bahasa Jepang tapi mereka berdua menjawab dengan bahasa Indonesia,
semua diam mematung kecuali Salma yang hanya tertawa kecil. Ternyata Hiro dan
Takaki dulu sempat tinggal dan belajara bahasa Indonesia di Makassar, Salma
bersama beberapa temannya yang mengajari mereka. Sebenarnya masih ada satu
orang lagi yang akan datang yaitu Taka namun ia menyusul di sore hari karena
masih memiliki urusan.
Takaki dan Hiro menemani dan menunjukkan jalan bagi kami
untuk mencapai tempat-tempat iconic di
Jepang dengan low budget tentunya
karena kami memang tak berniat menghabiskan biaya untuk jalan-jalan saja, masih
ada hal lain yang dipikirkan (oleh-oleh dan tiket kereta untuk pulang). Pertama
kami diajak melihat Tokyo Sky Tree
dari jembatan, kemudian melihat patung Hachiko dan Prof. Ueno di Tokyo University yang kemudian kami
bertemu Taka di perjalanan ke sana. Berikut beberapa dokumentasi kami.
Kami sangat salut dengan toleransi yang ketiga teman Salma
miliki, mereka rela mencarikan mesjid bagi kami agar kami dapat menjalankan
ibadah dengan baik dan menunggu kami selesai melaksanakan sholat dzuhur ashar
hingga maghrib di mesjid yang kami sendiri lupa di mana lokasinya karena mereka
pun menggunakan google maps Jepang
untuk menemukannya. Usai kami melaksanakan ibadah Taka pamit untuk pulang lebih
dulu karena ia memang seorang businessman
yang sibuk (rela meluangkan waktu demi menemui kami [Salma-san]). Kami kira
Takaki dan Hiro pun akan pamit pulang namun ternyata tidak, mereka malah
mengajak kami makan di restoran muslim yang memiliki label halal didepannya dan
mentraktir kami berlima pula, masyaallah
dan arigatou ghozaimasita saja yang
mampu kami katakan karena bingung saat akan membayar ternyata sudah dibayari
oleh mereka.
Hiroshi Nishimura dan Takaki Endo keduanya berbeda
kepribadian. Hiro orangnya sangat aktif, lucu dan pandai menggombal. Sedangkan,
Takaki sangat kalem dan lebih banyak tersenyum dari pada berbicara. Tapi,
keduanya sama-sama baik dan ramah. Suatu kehormatan kami bisa mengenal mereka
dengan segala keunikannya masing-masing. Sedikit moment kami saat mencicipi ramen asli Jepang yang ternyata sangat
sehat karena tak ber-MSG bahkan minyaknya pun sedikit karena bumbu utama di
Jepang hanya garam, gula, minyak zaitun, air, wijen dan seledri berbeda dengan
bumbu Indonesia yang kaya akan rempah. Selesai makan Takaki dan Hiro
berpamitan, kami pun berpisah di depan kedai makan tersebut ke tempat tinggal
masing-masing. Berikut beberapa dokumentasinya.
Keesokan harinya rencana kami adalah mencari buah tangan karena
kami harus bersiap untuk pulang. Waktu lima hari di Tokyo terasa sangat singkat
bagi kami karena perbedaan waktu yang lebih cepat di Jepang dari pada di
Indonesia. Pencarian buah tangan hari pertama saya, Ratmi dan Ghery mencari di
Ueno dan Asakusa karena katanya di sana surganya anime dan game Jepang. Kami
berangkat sekitar pukul 10 waktu setempat karena ingin lebih santai dan siap
sebelum bepergian. Baru beberapa saat sejak kami tiba di Ueno langit sudah
hampir gelap, tak banyak yang dapat kami lihat dan temukan di sana. Kami pun
berlanjut ke Asakusa dan benar saja, sesampainya di sana hari sudah malam dan
ikan harus bobo. Eh, maksud kami sudah ada beberapa kios dan toko yang sedang
merapikan hingga menutup tokonya. Maryam yang saat itu kembali menurun
kondisinya ditemani Salma di penginapan meminta kami mencari action figure Rock Lee, salah satu tokoh
dalam serial Naruto.
Saya kira akan mudah menemukan titipan dari Maryam,
ternyata dari semua toko yang ada tidak satu pun yang menjual karakter Rock Lee.
Mereka menyebutkan bahwa karakter tersebut terlalu aneh sehingga tak banyak
yang mencarinya, berbeda dengan karaker utama dalam serial Naruto, One Piece dan manga populer lainnya yang berderet di seluruh etalase toko dengan
kisaran harga 5000 sampai dengan 25.000 yen/ per buahnya. Di antara kami
berlima hanya Maryam saja yang menyukai karakter tersebut dan lainnya sama
sekali tidak. Akhirnya, perburuan kami berakhir di sebuah pusat perbelanjaan
(sebenarnya hanya tinggal swalayan ini saja yang masih buka saat itu). Kami tak
mencari action figure di sana tapi
mencari makanan ringan dan beberapa cemilan yang berisi banyak serta
terjangkau. Sayang sekali saat itu kami tak membeli banyak karena hari sudah
sangat larut padahal harganya bersahabat. Karena panik takut tertinggal kereta
malam yang tidak berbunyi jugijagijug
kami pun bergegas membeli seperlunya dan menyempatkan diri menikmati suasana
Asakusa di malam hari. Berikut sedikit dokumentasinya.
Setelah puas berkeliling di Asakusa kami pun kembali ke penginapan
dengan mempersiapkan penjelasan bahwa kami tidak dapat menemukan Rock Lee di
Ueno maupun Asakusa kepada teman kami yang tengah menurun kondisi kesehatannya
dengan sangat hati-hati agar tak membuatnya semakin drop.
Hari kedua pencarian buah tangan kami pun tiba. Masih sama
dengan hari sebelumnya kami berangkat agak siang menuju stasiun Takadanobaba.
Saat itu kami hanya berangkat berempat saja karena Maryam tidak bisa ikut dan
hanya menitipkan beberapa barang saja yang harus kami temukan. Ternyata di
Takadanobaba sudah ada Taka yang menunggu kami, ia sengaja menemui kami untuk
mencoba masakan Mongolia yang tentunya halal sebelum kami pulang. Sempat merasa
tidak enak karena salah satu teman kami tidak bisa ikut serta namun akhirnya
kami mengikuti Taka karena ia juga sudah meluangkan waktunya demi kami.
Dari luar tampak tidak ada plang/ ciri dari restoran atau
pun tempat makan, namun ketika kami menaiki lift
ke lantai dua gedung kami tiba di restoran Mongolia dengan label halal di luar
pintu masuk. Sama seperti mesjid tempo hari yang sama sekali tidak ada tulisan
mesjid atau bahasa arab yang menghiasinya. Tampak seperti rumah bertingkat dan
setelah masuk baru kami tahu kalau itu adalah mesjid/ mushola.
Di restoran tersebut kami tidak tahu mengenai menu yang
Taka pesan, kami hanya menunggu sambil mengobrol dengan Taka bahwa ia akan ke
Indonesia (Jakarta) untuk melakukan bisnis dalam waktu dekat. Satu per satu
makanan pun datang. Taka langsung mempersilakan kami untuk makan, luar biasa
kami pikir karena banyak sekali hidangan di meja dengan sedikit nasi dan alat
makan khas di sana. Habis satu menu datang lagi hingga semua sajian yang
dipesan habis. Yang kami ingat bahwa Taka mengeluarkan uang dan menghitungnya
dihadapan kami sebanyak 10.000 yen. Masyaallah
businessman. Kami hanya bisa
mengucapkan terima kasih karena ia enggan menerima uang kami dan hanya
mengatakan kalimat yang sama seperti yang Takaki dan Hiro ucapkan tempo hari.
“Saat saya ke Indonesia jangan lupa ajak saya makan makanan yang enak di sana ya!”
sambil tersenyum. Yaa Allah alhamdulillaah
kami dikelilingi orang-orang baik selama di sana.
Taka tidak memiliki banyak waktu, usai mentraktir kami
makan ia merekomendasikan kami untuk mencari keperluan di swalayan seberang
restoran yang cukup lengkap. Setelah membantu kami memilih berbagai macam
kudapan, minuman dan benda lainnya ia pun pamit. Kami pun berpisah dengan Taka
di sana. Berikut beberapa dokumentasi kami bersama Taka yang memang berekspresi
datar kapan saja ketika diambil fotonya.
Masih diliputi rasa syukur kami pun teringat tujuan kami
adalah pergi ke Ueno untuk mencari Daiso. Ya walau pun di Indonesia telah ada
cabang Daiso tapi harganya jauh lebih mahal di Indonesia dari pada di negara
asalnya. Berkeliling di Ueno kami sempat tercengang dengan banyaknya pusat
hiburan dewasa yang benar-benar menarik perhatian pejalan kaki yang melintas.
Sempat ingin mencari tahu karena awalnya kami kira tempat tersebut adalah pusat
game namun uda Ghery dengan jelas
mengatakan bahwa itu adalah tempat hiburan bagi orang dewasa maka kami pun
berlalu dengan cepat dari sekitaran tempat tersebut. Masuk ke pusat pertokoan
di Ueno ternyata harga yang ditawarkan jauh dari budget yang kami miliki sehingga kami hanya melakukan window shopping sambil sesekali mencoba
produk mereka.
Pilihan jatuh ke beberapa tempat, kerajinan samurai dari
besi yang dijadikan gantungan kunci dan kaos bertuliskan serta bergambar
Jepang, disertai beberapa pernak-pernik hiasan meja. Lalu buah tangan lainnya?
Akhirnya kami pun menggunakan Gmaps
karena merasa lelah berkeliling tanpa menemukan yang kami cari. Daiso pun
ditemukan setelah kami melihat seorang wanita membawa tas belanja bertuliskan
Daiso. Kami mencoba membuatnya berhenti sejenak dengan mengatakan “sumimasen” yang artinya maaf/ permisi
dan bertanya di mana Daiso, dia hanya berkata 5th floor sebanyak dua kali dan kami pun mengucapkan terima kasih
dalam bahasanya. Alhamdulillaah kami
pun menemukan Daiso dan langsung berebut sambil bercanda karena barang yang
kami cari terbatas.
Sejenak kami merasa agak canggung saat membawa barang ke
kasir dan membayarnya hingga jadi tontonan warga Jepang yang memperhatikan
belanjaan kami sampai kami selesai membayarnya. Tak ada bisik-bisik, tak ada
cibiran maupun kata-kata nyinyir yang
terucap. Hanya sekali melihat dan terdiam saja dengan sabar mengantri, berbeda
jika kami berbelanja seperti itu di Indonesia wah sepertinya sudah ramai di
belakang antrian. Barang-barang titipan dari Maryam pun sudah kami dapatkan dan
segera setelah selesai membungkus dan menyusun bawaan kami, kami berempat
bergegas pulang. Di perjalanan tiba-tiba Ghery terpikir untuk singgah dulu ke
tempat Tokyo Tower berada. Selain
karena itu hari terakhir kami di sana, uda pun berhasil meyakinkan kami bahwa
lokasinya tidak jauh dan ia sudah menemukan rute keretanya.
Tanpa membuang waktu, kami keluar dari pusat perbelanjaan
tersebut dan mencari stasiun terdekat untuk pergi mengunjungi Tokyo Tower. Sempat hampir terhimpit
pintu kereta karena Ghery terlalu lama membaca nama jalur kereta serta
tujuannya karena setiap kereta yang datang pintu hanya terbuka selama 30 detik.
Untung saja pintu sempat terbuka kembali dalam dua detik sebelum akhirnya
berangkat dan menuju lokasi yang kami tuju. Kami juga sempat mengalami
ketinggalan kereta sewaktu di Tokyo Station sebelumnya karena saat kami keluar
dari kereta line Odaiba kereta menuju
Tokyo Station sudah terbuka sekitar 20 detik dan hanya Chandra, Rizky dan Ratmi
saat itu yang berhasil masuk tepat waktu. Sisanya menunggu kereta di lima menit
berikutnya. Pembelajaran penting bagi kami warga Indonesia bahwa in time sangat berarti di sana dan akan
kami budayakan juga ketika pulang ke Indonesia.
Kembali ke perjalanan menuju Tokyo Tower di malam hari. Setelah melalui perjalanan sekitar 20-25
menit dan berganti line sebanyak dua
kali akhirnya kami sampai di stasiun dekat Tokyo
Tower. Tadinya kami hanya berniat mengambil foto dari kejauhan, namun rasa
penasaran kami membawanya sampai ke kuil dekat Tokyo Tower. Ya jiwa anak muda memang selalu ingin tahu lebih. Tak
lama kami di sana mengingat hari sudah semakin larut dan teman kami menunggu di
penginapan dalam kondisi yang kurang baik. Segera setelah selesai mengabadikan
beberapa moment kami pun pulang
melalui jalan dan line yang sama
menuju stasiun utama Takadanobaba untuk kemudian melanjutkannya ke Hagiyama
menggunakan kereta ekspres. Berikut beberapa dokumentasinya.
Malam terakhir itu tak banyak yang kami diskusikan hanya
persiapan dan packing saja mengingat
kami juga sudah kelelahan setelah seharian berkeliling Ueno. Ketika sampai di
stasiun Hagiyama kami bertanya kepada petugas mengenai keberangkatan paling
pagi dan kami diberikan jadwalnya dalam selembar kertas. Tidur lebih awal dan
bangun lebih awal menjadi kegiatan terakhir kami di Takasago. Ratmi sang Trengginas pagi sekali telah menggedor
pintu kamar kami satu per satu seperti biasa. Ia mengingatkan kami untuk
mengecek kembali barang bawaan dan merapikan kembali kamar kami sebelum
ditinggalkan serta melakukan estafet barang dari lantai empat ke bawah. Kami
berpamitan kepada seluruh penghuni Takasago terutama kepada Pak Arif karena
telah banyak membantu kami selama di sana. Sekitar pukul tiga dini hari waktu
Indonesia kami menuju stasiun Hagiyama menuju Takadanobaba untuk menaiki kereta
di line Yamanote dan terakhir menuju
stasiun kereta khusus ke Bandara Narita. Sholat shubuh dan sarapan pagi pun
kami lakukan di stasiun tersebut karena kami takut ketinggalan jadwal
penerbangan kami.
Jika waktu awal kami menghabiskan waktu sekitar 6 jam
perjalanan kali ini karena sudah terbiasa menaiki dan melalui banyak stasiun
kami hanya menempuh waktu 2,5 jam saja untuk sampai di bandara. Semua bisa
karena terbiasa dan terbuktilah selalu pepatah tersebut hingga ke negeri
sakura. Sembari menunggu di bandara kami pun menukar kartu suica/ pasmo yang kami miliki untuk mengambil deposit uang kami di
kartu tersebut. Lalu kami pun masuk ke bandara dan seperti sebelumnya
menghitung berat koper, mendaftarkan dan memasukkannya ke bagasi pesawat
kemudian melewati dua kali pemeriksaan, kemudian melewati imigrasi, masuk ke
ruang tunggu dan terbang dari Narita menuju Don Mueang untuk transit. Berikut
beberapa dokumentasinya.
Di saat menunggu pesawat untuk kembali ke Indonesia Maryam
mengalami mimisan dan hampir membuat panik para penunggu lain karena darahnya
cukup banyak yang keluar. Kami berusahan mencari tisu dan kayu putih agar
darahnya berhenti, sempat terjadi percekcokan antara kami dalam penanganan
Maryam sebelum akhirnya ada perawat dari Taiwan yang memberikan nasehat
mengenai hal yang harus dilakukan. Alhamdulillah darahnya berhenti dan kami
pulang ke Indonesia dengan perasaan agak tak tenang karena kondisi Maryam yang
kami kira sudah agak membaik namun ternyata belum. Akhirnya kami terbang
kembali ke Soekarno-Hatta International
Airport dan sampai sekitar pukul 23.00 tengah malam. Kami langsung
mengambil koper kami dan keluar dari bandara.
Karena lapar dan hanya ada satu tempat fast food yang buka kami pun makan di
tengah malam sebelum akhirnya menuju terminal travel di bagian paling utara
terminal D. Kami pulang menggunakan Primajasa
Shuttle 30 menit kemudian setelah kami selesai melakukan negoisasi dan
pembayaran. Kami diantarkan sampai ke kost-san
masing-masing dengan membayar Rp. 170.000 dari bandara. Alhamdulillaah kami
semua sampai sekitar 15 menit sebelum adzan shubuh berkumandang. Selepas
melaksanakan sholat shubuh sepertinya hampir semuanya merasakan jet lag dan tertidur sampai dzuhur. Baru
setelah dzuhur kami mendapat kabar bahwa Maryam teman kami di rawat inap di RS
Advent karena positif DBD. Segera kami datang menengok karena kami tak
mengetahui sama sekali penyakitnya sampai akhirnya kami mendengar berita
tersebut. Kami merasa bersalah karena selama di Jepang hanya memberikan obat
dan menangani dengan P3K dan seadanya. Berikut dokumentasinya.
Sekitar lima hari kemudian alhamdulillaah Maryam sudah kembali sehat dan ia dengan bersemangat
malah meminta kami semua untuk mengulang perjalaan kami selama di Jepang karena
ia sempat melewatkan beberapa moment.
Semoga Allah mentakdirkan kami kembali ke Jepang seperti yang Maryam inginkan, Aamiin Yaa Allah Yaa Rabbalalamiin.